Cerita 33 : Kehilangan Sosok
Pendidik Teladan yang Sesungguhnya
Hari ini, usai melaksanakan upacara bendera, saya masuk mengajar di kelas VII.
Yang menurut laporan, kedisiplinan siswa-siswinya mulai mengalami kemerosotan
ke tahap mengkhawatirkan. Mendengar kabar itu, saya pun turut khawatir sehingga
menyempatkan diri untuk menyampaikan sedikit wejangan bagi mengembalikan
kesadaran mereka akan kedisiplinan baik di dalam maupun di luar sekolah.
Sambil mengoreksi
tugas yang saya berikan minggu lalu, sedikit demi sedikit saya mengadakan
pendekatan dengan menyentuh hati mereka pelan-pelan. Awalnya, saya mengingatkan
mereka dengan menanyakan jumlah rukun iman, yang dengan serentak bisa mereka
jawab dengan jawab yang tepat. "Enam," Kata mereka.
Kemudian, saya ajak
kembali mereka untuk menyebutkan rukun iman yang pertama, yang juga dapat
mereka jawab serempak dengan sangat tepat; "Percaya kepada Allah, SWT.
" Namun ketika saya tanyakan, "Sudahkah itu kalian terapkan dalam
kehidupan sehari-hari?" Hampir dari seluruhnya tidak menjawab. Bungkam.
Bak
menulis di atas air,
ya, begitulah. Tak berbekas. Seolah belajar tinggallah belajar. Dan ternyata
mereka baru sadar bahwa yang mereka pelajari harusnya mereka amalkan dalam
kehidupan sehari-hari. Dan mereka baru menyadari, kalau yang mereka teladani
adalah apa yang tampak di sekitar bukan dari apa yang mereka pernah
pelajari.
Seperti contoh, saat
di sekolah mereka berpakaian rapi serta menutup aurat dengan rapat; yang
perempuan mengenakan kerudung; laki-laki mengenakan celana panjang menambah
kewibawaan mereka meski mereka terbilang sangat muda. Namun, di luar sekolah, dengan tanpa rasa bersalah,
melepas hijab mereka, begitu juga dengan siswanya yang tampak biasa-biasa saja
mengenakan celana pendek yang kelihatan lututnya. Padahal sebelumnya di sekolah
mereka diajarkan serta diwajibkan untuk menjaga aurat dengan cara dikenalkan
pada firman Allah, SWT yang menguraikan perintah-Nya mengenai kewajiban menutup
aurat.
Bukan hanya soal
hijab dan menutup aurat. Soal pergaulan. Napas saya pernah sempat sedikit sesak
saat mendapati kabar pelajar seusia Sekolah Menengah Pertama yang dengan fasih
mengungkapkan nama pacarnya dalam sebuah ungkapan puisi. Kalau sudah begini,
siapa yang mesti disalahkan? Siswa-siswikah? Atau kita sebagai guru/ pendidik
atau lingkungan keluarga?
Dan usut punya usut,
rupanya siswa yang saya maksud ternyata meniru kakak-kakaknya yang tidak bisa
memberikan teladan yang baik kepada adiknya di rumah. Ditambah guru mereka yang
turut "mengiyakan" tindakan ganjil tersebut dengan cara
"mencontohkan" praktik bermesraan di jalan atau tempat-tempat umum
yang dengan mudah dilihat oleh siswa-siswi yang mereka ajar. Naudzubillah...
Sehingga tidak aneh, apabila
berita akhir-akhir ini
banyak yang menampilkan kebobrokkan moral pelajar kita yang seyogyanya merupakan generasi penerus di masa-masa
tua kita nanti. Karena memang mereka yang sudah kehilangan sosok keteladanan
sementara memori mereka hanya dipenuhi oleh teori-teori yang seolah tidak ada titik temunya dalam kehidupan.
Sebagai pendidik, mari
sama-sama kita renungkan, mengapa diri kita pada akhirnya memilih menjadi sosok
pendidik?Dan benarkah ini keputusan final?
Sejenak kita lupakan soal gaji yang
telat dibayar. Sebagai diri yang sudah memilih menjadi tenaga pendidik, tentu
sebelumnya telah memperhitungkan betapa untuk mengemban amanah sebagai pendidik
bukanlah tugas mudah. Sebagai manusia yang dituntut untuk menyerahkan kehidupan sepenuhnya
sebagai pengajar. Mengajar melalui dirinya. Sepanjang hari tanpa batas
waktu. Menjadi diri yang tidak
sekadar bisa mengajar namun setiap gerak-geriknya turut ikut terpantau dan
menjadi model praktik bagi kehidupan para pelajar yang kelak menjadi penerus
bangsa.
Siapkah kita?
Komentar
Posting Komentar