Cerita 40 : Adab
Nomer Kesasar
Sering mengalami
kejadian seperti ini; Mau menelepon seseorang, eh, malah tersambung ke nomor
yang lain. Atau mau kirim SMS tentang seseorang ke seseorang yang lain, eh,
tau-tau (entah karena salah fokus) malah terkirim ke seseorang yang jadi bahan
omongan. Up's! Mau dibatalkirimkan, sementara di layar sudah menunjukkan kata
yang mengagetkan, membuat kerja jantung nyaris saja macet; SENT. Itu
artinya... Sudah terlambat!
Kalau sudah begitu,
apalagi yang bisa dilakukan kalau bukan berterus terang. Ya, berterus terang
memang lebih baik, ketimbang berkelit yang bakal memperpanjang masalah hingga
jadi berbelit-belit.
Dan kata
"Maaf" mungkin adalah kata paling tepat diluncurkan. Terlepas apakah
kita dimaafkan atau tidak. Yang jelas, kita sudah melakukan kesalahan;
Kesalahan pertama, karena kita yang "nyaman" ngomongin orang di
belakangnya ketimbang di depannya. Sementara, kesalahan kedua, karena
kecerobohan kita, yang ternyata telah membuat hati seseorang yang semula
biasa-biasa saja menjadi sakit. Hemm,
Okey! Mari kita
beralih sejenak dari kekeliruan yang barangkali pernah dilakukan.
Bagaimana pula dengan
yang sudah jelas kesasar tapi malah ngeyel? Udah gitu, lupa untuk meminta maaf. Duh, untuk
menghadapi orang jenis satu ini, tidak perlu yang namanya buang energi, simpan saja stok kesabaran ekstra, jangan sampai
tersulut api emosi.
Dan saya baru saja
mengalaminya. Berawal dari si pemilik nomer kesasar yang melakukan missed
call atau melakukan panggilan yang ketika dijawab hanya diam saja, yang semula saya duga si pelaku
cuma mau menentukan siapa "korban" mereka kali ini melalui
mendengarkan suara, bila sudah sesuai target, si pelaku mulailah melayangkan
SMS seperti yang sudah-sudah.
Namun kali ini
berbeda, alih-alih menyebutkan nama, malah menanyakan nama saya tanpa mau
menyebutkan namanya sendiri meskipun ditanya. Aneh, yup, tapi nyata. Ketika
telah mendapatkan siapa nama saya, si pelaku hanya mengatakan kalau dia salah nomer
tanpa meminta maaf.
Dan lebih anehnya
lagi, sewaktu saya menanyakan dia siapa, tidak mau menjawab. Agaknya berat
sekali bila hanya sekadar menuliskan nama sendiri. Walau sebenarnya bukanlah
masalah besar bagi saya. Hanya saja terkadang saya membayangkannya seperti
orang yang kesasar mencari alamat rumah, lalu nyelonong pergi tanpa meminta
maaf. Tanpa etika.
Padahal, bukankah
dulu, waktu duduk di bangku Sekolah Menengah diajarkan mengenai tata cara
bertelepon atau berpesan singkat dengan baik? Sayang
sekali 'kan bila pelajaran baik diabaikan? Bahkan di dalam agama diajarkan
mengenai berbagai adab. Apatah lagi soal adab berinteraksi dengan sesama
manusia.
Yaa, lagi-lagi sebagai manusia biasa kita musti selalu berprasangka baik, ya. Mungkin orang itu sedang lupa atau khilaf. Yaah, begitulah agaknya.
Yaa, lagi-lagi sebagai manusia biasa kita musti selalu berprasangka baik, ya. Mungkin orang itu sedang lupa atau khilaf. Yaah, begitulah agaknya.
Tapi tetap saja, adab
yang baik tetap harus dijunjung tinggi bila ingin hidup yang baik pula ya,
Sobat... :)
Komentar
Posting Komentar