Kauajak aku melihat masa depan,
lalu kautanyakan, "Bagaimana
kalau..."
Matamu berkedipan
Selayaknya bintang yang kerontang sinar
"Bagaimana kalau..."
"Aku tidak tahu."
Kupandangi lagi dagumu, kini
bergantungkan mutiara-mutiara
"Aku tidak tahu."
"Sebab aku tidak punya indera
keenam."
Kutegaskan kalimat itu, dengan senyum
yang kutegar-tegarkan.
"Tapi..."
"Bagaimana kalau..."
Belum sempat kautuntaskan pertanyaan,
kemudian hujan menyerbu di antara rerumputan yang tumbuh lebat di sekitar
wajahmu.
Tiada yang bisa kukemukakan selain hela.
Kaupun ikut-ikutan menghela. Mengeringkan
hujan di pelupuk mata.
Aku menatapmu lagi, jendela jiwamu masih
lagi basah.
Kuajukan usulan, yang kuharap bisa
kauterima, namun kaucuma tepis.
"Apa perlu aku ikrarkan?"
"Ikrar apa?"
"Kalau aku tidak mungkin..."
Dan kau memutus, seperti tahu apa kelanjutannya.
"Tak usah!"
"Itukan hakmu."
"Lalu?"
"Kenapa harus menangis?"
Kau melempar sapu tangan,
"Entah!"
"Mungkin karena aku yang kurang
beriman."
"Berarti mesti ditambah." Saranku.
"Emm," Kau manggut.
Kukembangkan senyum yang ingin mekar
sejak tadi.
"Haloo, Ukhti... Mari kita serahkan
semua pada Yang Maha Ahli. Okey?"
Kau membalas senyum, dan awan menghitam
masih tampak menggelayut di jendela turut menggambarkan rasa.
Oleh : Upize (Astuti A. Palupi)
Komentar
Posting Komentar