Cerita
16 : Stop 3D?
Mungkin
sebagian dari pembaca tidak mengenal tetapi pernah melakoni yang namanya 3D:
Datang, Duduk, Diam. Dalam sebuah acara baik itu sifatnya formal atau
nonformal, sering kita mempedomani diri kita dengan prinsip berikut. Hanya
DATANG, DUDUK dan DIAM saja.
Cara ini dianggap
paling aman dan nyaman bagi sebagian orang. Karena selain mudah diterapkan,
juga kita tidak usah bersusah-susah turut andil, memikirkan kira-kira buah pikir
seperti apa yang patut kita sumbangkan. Atau minimal, menyodorkan suatu masalah
yang layak kita pecahkan bersama-sama.
Biasanya, penerap
prinsip 3D ini adalah mereka yang begitu mencintai apa itu yang dinamakan formalitas. Yaa, sekadar formalitas semata. Atau bisa juga mereka yang sifatnya pintar sekali, sehingga cukup dengan menjawab segala pertanyaannya dengan jawaban benaknya sendiri serta memecahkan permasalahan sendiri, tanpa keterlibatan orang lain.
Ya, sah-sah saja... Hak orang untuk diam atau berbicara, melibatkan orang lain atau tidak dalam menuntaskan segala permasalahannya. Tetapi, tunggu dulu, di balik cara yang kita anggap nyaman sungguh cara tersebut tidak selalunya merupakan cara nyaman plus aman meski kita keseringan menganggapnya begitu.
Coba saja kita mau memberi sedikit kesempatan untuk mengeksplor diri, sehingga uneg-uneg yang kita tanggung, kita pendam-pendam sendiri, tanpa meminta jalan solusi. Dan terkadang kita sering keberatan meyakini kehebatan diri. Padahal tubuh punya hak lho, untuk melakukan tugas-tugas yang sudah semestinya dia lakukan.
Otak yang bekerja dan memerintahkan. Hati yang menyaring baik-buruknya. Sedangkan yang lain, adalah penerima sinyal dari otak, perintah apa yang tersampaikan dan yang perlu dikerjakan. Tetapi, sewaktu-waktu, kita malah yang menjadi penghambat kinerja otak-hati dan anggota fisik kita yang lain, meskipun itu baik.
Menyampaikan pendapat adalah hak. Karena saat itu tercapai akan tercapai pula kepuasaan batin dan yang pastinya ini membawa jiwa kita ke arah yang lebih sehat. Seperti contoh; dari semula kita merasa tersiksa oleh namanya ketidaktahuan hingga akhirnya menjadi tahu, dari yang sebelumnya kurang jelas menjadi jelas. Sehingga, apa-apa yang kita kerjakan tidak lagi terhambat oleh ketidaktahuan atau kekurangjelasan yang memang kita sendiri yang membuat diri kita tidak tahu dan kurang jelas.
Namun, jangan dulu bangga dengan mereka yang sering disanjung dan dijuluki sebagai "vocalist", orang yang lazimnya penuh suara dan jarang diam. Meski orang dengan julukan ini terlihat bertingkat-tingkat lebih tinggi dari "kaum reserver" tapi vokal saja belumlah cukup. Selain ia harus tahu apa yang diucapkan, ia juga harus tahu tujuan; untuk apa ia mengucapkan? Dan yang terakhir, apa yang didapat usai bervokal? Itu yang paling penting.
Jadi, intinya, 3D; Datang, Duduk, Diam sebenarnya sah-sah saja, dibandingkan yang suka ngomong tapi ngalor-ngidul. Tetapi ada baiknya, bila memang ada yang perlu dibicarakan dan memerlukan penyelesaian dalam suatu masalah apalagi terkait permasalahan bersama, yang apabila didiamkan akan memperburuk kondisi di waktu-waktu selanjutnya, tidak ada salahnya diutarakan.
Adakalanya, kita butuh lepas dari yang namanya "zona aman" bukan karena ingin membahayakan diri melainkan agar kita tahu bagaimana menanggulangi resiko bila suatu kali kita berhadapan dengan situasi di luar zona aman.
Sesungguhnya, semuanya bisa diubah. Termasuk pola pikir kita. Dan tiap detik seharusnya menjadi madah kita untuk melatih diri agar tidak terus menjadi "silencer" tapi menjadi "vocalist" yang tidak sekadar mengandalkan vokal.
Begitu!
Begitu!
Komentar
Posting Komentar